Jumat, 24 November 2017

Muhajidah berbaju besi

Khaulah binti Al-Azwar adalah seorang mujahidah berbaju besi. Sejarah kehidupan Khaulah binti Al-Azwar berhubungan dengan sejumlah tokoh dalam perang Ajnadin. Dalam perang itu, kaum muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid berperang melawan tentara Romawi di bawah pimpinan Heraklius. Khaulah telah memberikan kontribusinya dalam perang itu sebagaimana yang diberikan para laki-laki. Dia ikut dalam perang itu secara sembunyi-sembunyi untuk membebaskan saudaranya, Dhirar dari penjara.

Diriwayatkan bahwa ketika Dhirar bin Al-Azwar ditahan di Ajnadin, Khalid bin Walid bersama tentaranya berniat untuk membebaskannya. Ketika Khalid bin Walid dan tentara Muslim sedang dalam perjalanan, tiba-tiba seorang penunggang kuda melintasinya dengan membawa tongkat dan tidak kelihatan wajahnya kecuali kedua buji matanya. Penunggang kuda itu berjalan dan ingin melempar tombak sendirian dan tidak perduli dengan orang yang ada dibelakangnya. Ketika Khalid bin Walid melihatnya, dia berkata, "Siapakah penunggang kuda ini? Demi Allah, sungguh dia benar-benar tentara berkuda yang luar biasa."

Khalid kemudian mengikutinya dan tentaranya berada di belakangnya hingga akhirnya mereka bisa mengejar tentara Romawi. Penunggang kuda itu lalu masuk ke barisan tentara Muslim untuk menyerang pasukan Romawi, dan berteriak hingga gemparlah suasana barisan mereka serta membangkitkan semangat tentara Muslim. Suara itu tidak lain berasal dari penunggang kuda yang ketika keluar dari barisan itu, tombaknya telah berlumuran darah. Dia telah berhasil membunuh beberapa orang dari pihak musuh. Penunggang kuda itu kemudian memberanikan diri untuk kedua kalinya dan menembus barisan musuh. Kaum Muslimin merasa sedih dan kasihan melihatnya, karena takut terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Sementara orang-orang mengira bahwa penunggang kuda itu adalah Khalid bin Walid.

Rafi' bin Umairah bertanya kepada Khalid bin Walid, "Siapa penunggang kuda yang melaju di hadapanmu?" Dia telah mengerahkan jiwa dan tenaganya." Khalid menjawab, "Demi Allah, Aku juga kagum melihatnya."

Ketika orang-orang membicarakannya, penunggang kuda itu keluar seolah-olah dia adalah cahaya api yang menyambar. Setiap kali ada musuh yang mendekatinya, dia mengarahkan tombaknya kepada musuh itu, hingga akhirnya dia tiba di barisan kaum Muslimin, lalu mereka mengerumuninya. Mereka memberinya semangat agar dia mau memberitahukan namanya dan membuka penutup wajahnya. Khalid yang merupakan pemimpin kaum Muslimin memberikan semangat kepadanya. Namun tidak ada jawaban dari penunggang kuda itu. Ketika Khalid tetap bertanya kepadanya, dia menjawab, akan tetapi dia tidak membuka penutup wajahnya. Akhirnya penunggang kuda itu berkata, "Wahai komandan perang, aku tidak menampakkan diriku kepadamu tidak lain karena aku malu kepadamu, karena engkau adalah pemimpin besar, sedangkan aku adalah wanita pingitan. Adapun yang menyebabkan aku demikian, karena hatiku terbakar dan aku sakit hati." Khalid bertanya kepadanya, "Jadi siapakah dirimu?"

Penunggang kuda itu menjawab, "Aku adalah Khaulah binti Al-Azwar. Ketika aku bersama para perempuan dari kaumku, tiba-tiba ada yang datang kepada kami dan memberitahukan bahwa saudaraku ditawan. Maka aku pun menunggang kuda itu dan melakukan seperti apa yang engkau lihat."

Disna Khalid berteriak lantang di tengah tentara-tentaranya, mereka lalu berangkat dan mengajak Khaulah binti Al-Azwar untuk menyerang tentara Romawi. Ketika perang berlangsung, Khaulah berkeliling ke semua tempat untuk mencari kemana tentara Romawi membawa saudaranya. Namun dia tidak mendapatkan jejak maupun kabar tentang saudaranya tersebut. Dia akhirnya tetap ikut berjihad hngga akhirnya berhasil menyelamatkan saudaranya.

Menjadi Tawanan Perang
Khaulah binti Al-Azwar pernah menjadi tawanan dalam perang Shahura bersama para wanita muslimah lainnya. Dia menjadi pelopor dan mampu mengobarkan api perlawanan didalam hati mereka, sekalipun mereka tidak memiliki senjata apapun.

Ketika itu Khaulah berkata, "Ambillah tiang bendera dan kayu-kayu pasak, lalu kita pukulkan kepada penjahat itu, sehingga Allah memberi kia pertolongan atas mereka." Afra' binti Ghaffar berkata, "Demi Allah, apa yang kamu katakan kepada kami telah aku ingat tadi." Maka masing-masing dari wanita itu kemudian mengambil tiang tenda tempat mereka ditawan. Khaulah membawa tiang tenda itu dipundaknya dan diikuti oleh para wanita lainnya. Khaulah berkata kepada mereka, "Jangan sebagian dari kalian berpisah dengan sebagian yang lain. Jadilah seperti kelompok yang melingkar dan janganlah bercerai berai sehingga dapat menyebabkan kalian kalah, karena tombak dan pedang musuh juga dapat menyambar dan melumpuhkan kalian."

Khaulah kemudian menyerang diikuti oleh para wanita lainnya. Mereka berhasil membunuh banyak musuh hingga mereka selamat dari cengkraman tentara Romawi. Khaulah keluar dan berkata,
"Kami adalah anak-anak perempuan pengikut dan masih kemerah-merahan. Akan tetapi serangan kami terhadap musuh itu tidak dapat dipungkiri. Karena kami dalam perang itu seperti api yang menyala, dan pada hari itu kalian merasakan siksaan yang terbesar."
Perang itu telah dicatat oleh sejarah antara Arab dan Romawi. Dalam perang itu, Dhirar ditawan untuk yang kedua kalinya. Maka saudaranya, Khaulah bersedih atas peristiwa yang terjadi dan bertekad untuk membalas dendam kepada tentara Romawi. Khaulah binti Al-Azwar memecah kembali barisan musuh seraya mencari saudaranya. Namun dia tidak berhasil mendapatkannya. Dia lalu berteriak lantang, "Wahai saudaraku, saudari perempuanmu adalah tebusanmu."

Semangat kaum Muslimin kembali bangkit dan mereka mengepung Anthkiyah. Disanalah tentara Romawi membentengi diri bersama para tawanan perang. Dalam perang itu, kaum Muslimin menang dan berhasil membebaskan para tawanan setelah melalui perjuangan yang getir dan pahit. Dhirar kemudian kembali kepada saudarinya dan bergembira atas pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Khaulah binti Al-Azwar meninggal dunia pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan radhiallahu'anhu.

Sumber: Buku 100 Kisah Kepahlawanan Wanita, karangan Imarah Muhammad Imarah, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Kisah Sahabat yang Memuliakan Tamu Rasulullah




Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Beliau pun mendatangi istri-istri beliau.
Para istri beliau berkata, "Kami tidak punya apa-apa selain air."
Maka Rasulullah berkata kepada orang banyak, "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?"
Seorang laki-laki Anshar berkata, "Aku."
Sahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya, lalu berkata, "Muliakanlah tamu Rasulullah ini."
Istrinya berkata, "Kita tidak mmiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku."
Sahabat Anshar berkata, "Suguhkanlah makanan kamu itu, lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu."

Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu. Selanjutnya, ia mematikan lampu dan menidurkan anaknya, kemudian berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu mematikannya kembali. Suami istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyak sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam.

Di pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah. Beliau bersabda, "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua."

Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam surat Al-Hasyr ayat 9 yang artinya:
"Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."
--------------

Sumber: Buku Golden Stories, karangan: Mahmud Mushtafa Sa'ad dan Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta

Kamis, 23 November 2017

Mujahidah Berbaju Besi


Khaulah binti Al-Azwar adalah seorang mujahidah berbaju besi. Sejarah kehidupan Khaulah binti Al-Azwar berhubungan dengan sejumlah tokoh dalam perang Ajnadin. Dalam perang itu, kaum muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid berperang melawan tentara Romawi di bawah pimpinan Heraklius. Khaulah telah memberikan kontribusinya dalam perang itu sebagaimana yang diberikan para laki-laki. Dia ikut dalam perang itu secara sembunyi-sembunyi untuk membebaskan saudaranya, Dhirar dari penjara.

Diriwayatkan bahwa ketika Dhirar bin Al-Azwar ditahan di Ajnadin, Khalid bin Walid bersama tentaranya berniat untuk membebaskannya. Ketika Khalid bin Walid dan tentara Muslim sedang dalam perjalanan, tiba-tiba seorang penunggang kuda melintasinya dengan membawa tongkat dan tidak kelihatan wajahnya kecuali kedua buji matanya. Penunggang kuda itu berjalan dan ingin melempar tombak sendirian dan tidak perduli dengan orang yang ada dibelakangnya. Ketika Khalid bin Walid melihatnya, dia berkata, "Siapakah penunggang kuda ini? Demi Allah, sungguh dia benar-benar tentara berkuda yang luar biasa."

Khalid kemudian mengikutinya dan tentaranya berada di belakangnya hingga akhirnya mereka bisa mengejar tentara Romawi. Penunggang kuda itu lalu masuk ke barisan tentara Muslim untuk menyerang pasukan Romawi, dan berteriak hingga gemparlah suasana barisan mereka serta membangkitkan semangat tentara Muslim. Suara itu tidak lain berasal dari penunggang kuda yang ketika keluar dari barisan itu, tombaknya telah berlumuran darah. Dia telah berhasil membunuh beberapa orang dari pihak musuh. Penunggang kuda itu kemudian memberanikan diri untuk kedua kalinya dan menembus barisan musuh. Kaum Muslimin merasa sedih dan kasihan melihatnya, karena takut terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Sementara orang-orang mengira bahwa penunggang kuda itu adalah Khalid bin Walid.

Rafi' bin Umairah bertanya kepada Khalid bin Walid, "Siapa penunggang kuda yang melaju di hadapanmu?" Dia telah mengerahkan jiwa dan tenaganya." Khalid menjawab, "Demi Allah, Aku juga kagum melihatnya."

Ketika orang-orang membicarakannya, penunggang kuda itu keluar seolah-olah dia adalah cahaya api yang menyambar. Setiap kali ada musuh yang mendekatinya, dia mengarahkan tombaknya kepada musuh itu, hingga akhirnya dia tiba di barisan kaum Muslimin, lalu mereka mengerumuninya. Mereka memberinya semangat agar dia mau memberitahukan namanya dan membuka penutup wajahnya. Khalid yang merupakan pemimpin kaum Muslimin memberikan semangat kepadanya. Namun tidak ada jawaban dari penunggang kuda itu. Ketika Khalid tetap bertanya kepadanya, dia menjawab, akan tetapi dia tidak membuka penutup wajahnya. Akhirnya penunggang kuda itu berkata, "Wahai komandan perang, aku tidak menampakkan diriku kepadamu tidak lain karena aku malu kepadamu, karena engkau adalah pemimpin besar, sedangkan aku adalah wanita pingitan. Adapun yang menyebabkan aku demikian, karena hatiku terbakar dan aku sakit hati." Khalid bertanya kepadanya, "Jadi siapakah dirimu?"

Penunggang kuda itu menjawab, "Aku adalah Khaulah binti Al-Azwar. Ketika aku bersama para perempuan dari kaumku, tiba-tiba ada yang datang kepada kami dan memberitahukan bahwa saudaraku ditawan. Maka aku pun menunggang kuda itu dan melakukan seperti apa yang engkau lihat."

Disna Khalid berteriak lantang di tengah tentara-tentaranya, mereka lalu berangkat dan mengajak Khaulah binti Al-Azwar untuk menyerang tentara Romawi. Ketika perang berlangsung, Khaulah berkeliling ke semua tempat untuk mencari kemana tentara Romawi membawa saudaranya. Namun dia tidak mendapatkan jejak maupun kabar tentang saudaranya tersebut. Dia akhirnya tetap ikut berjihad hngga akhirnya berhasil menyelamatkan saudaranya.

Menjadi Tawanan Perang
Khaulah binti Al-Azwar pernah menjadi tawanan dalam perang Shahura bersama para wanita muslimah lainnya. Dia menjadi pelopor dan mampu mengobarkan api perlawanan didalam hati mereka, sekalipun mereka tidak memiliki senjata apapun.

Ketika itu Khaulah berkata, "Ambillah tiang bendera dan kayu-kayu pasak, lalu kita pukulkan kepada penjahat itu, sehingga Allah memberi kia pertolongan atas mereka." Afra' binti Ghaffar berkata, "Demi Allah, apa yang kamu katakan kepada kami telah aku ingat tadi." Maka masing-masing dari wanita itu kemudian mengambil tiang tenda tempat mereka ditawan. Khaulah membawa tiang tenda itu dipundaknya dan diikuti oleh para wanita lainnya. Khaulah berkata kepada mereka, "Jangan sebagian dari kalian berpisah dengan sebagian yang lain. Jadilah seperti kelompok yang melingkar dan janganlah bercerai berai sehingga dapat menyebabkan kalian kalah, karena tombak dan pedang musuh juga dapat menyambar dan melumpuhkan kalian."

Khaulah kemudian menyerang diikuti oleh para wanita lainnya. Mereka berhasil membunuh banyak musuh hingga mereka selamat dari cengkraman tentara Romawi. Khaulah keluar dan berkata,
"Kami adalah anak-anak perempuan pengikut dan masih kemerah-merahan. Akan tetapi serangan kami terhadap musuh itu tidak dapat dipungkiri. Karena kami dalam perang itu seperti api yang menyala, dan pada hari itu kalian merasakan siksaan yang terbesar."
Perang itu telah dicatat oleh sejarah antara Arab dan Romawi. Dalam perang itu, Dhirar ditawan untuk yang kedua kalinya. Maka saudaranya, Khaulah bersedih atas peristiwa yang terjadi dan bertekad untuk membalas dendam kepada tentara Romawi. Khaulah binti Al-Azwar memecah kembali barisan musuh seraya mencari saudaranya. Namun dia tidak berhasil mendapatkannya. Dia lalu berteriak lantang, "Wahai saudaraku, saudari perempuanmu adalah tebusanmu."

Semangat kaum Muslimin kembali bangkit dan mereka mengepung Anthkiyah. Disanalah tentara Romawi membentengi diri bersama para tawanan perang. Dalam perang itu, kaum Muslimin menang dan berhasil membebaskan para tawanan setelah melalui perjuangan yang getir dan pahit. Dhirar kemudian kembali kepada saudarinya dan bergembira atas pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Khaulah binti Al-Azwar meninggal dunia pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan radhiallahu'anhu.

Sumber: Buku 100 Kisah Kepahlawanan Wanita, karangan Imarah Muhammad Imarah, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Kisah Kalung Permata dan Gadis Cantik



Ibnu Abi Al-Fawaris berkata, "Aku pernah mendengar Abu Bakar bin Abdul Baqi bercerita, 'Aku tinggal di Makkah. Suatu hari, rasa lapar menderaku. Tidak ada sesuatu pun yang dapat kumakan untuk mengusir rasa lapar itu. Aku pun keluar rumah untuk mencari sesuatu. Tiba-tiba aku melihat kantong sutra yang diikat dengan tali pita sutra tergeletak di jalanan. Kantong itu kemudian kuambil dan ku bawa ke rumah. Sesampainya di rumah, aku buka tali ikat kantong itu dan ternyata didalamnya berisi kalung permata yang sangat indah.

Seingatku, belum pernah aku melihat kalung seindah itu seumur hidupku. Aku lalu keluar lagi untuk mencari sosok pemilik kantong itu. Dari jauh kulihat seorang laki-laki tua sedang membawa sekantong uang sambil berteriak-teriak, "Siapa pun yang menemukan sebuah kantong yang berisi kalung permata, maka uang 500 dinar ini sebagai hadiah bagi yang mengembalikannya kepadaku." Hatiku berbisik, "Saat ini aku sedang kelaparan. Kebetulan kantong laki-laki tua itu ada padaku. Alangkah baiknya bila kantong itu kuberikan kepadanya dan ia memberiku uang 500 dinar. Lalu, uang itu dapat kubelikan makanan."

Aku segera memanggil laki-laki tua itu, "Hei kakek, ke sini!" Aku lalu membawa kakek itu ke rumahku. Ia kemudian menyebutkan ciri-ciri kantongnya yang hilang, mulai dari warnanya, tali pengikatnya dan jenis kalung permata yang ada di dalamnya. Semua ciri yang disebutkan oleh si kakek persis seperti kantong yang kutemukan. Akupun mengambil kantong itu dan memberikannya kepada si kakek. Dengan wajah senang, si kakek kemudian memberikan kepadaku uang 500 dinar sebagai hadiah. Tetapi aku menolaknya.

Aku berkata kepadanya, "Sudah menjadi kewajibanku mengembalikan kantong ini kepada pemiliknya. Karenanya, tidak pantas aku memungut hadiah apa pun darinya." Kakek itu berkata, "Kamu harus terima uang ini." Ia terus mendesakku untuk menerima uang itu, tetapi aku tetap menolaknya. Si kakek kemudian pergi.

Beberapa tahun kemudian, aku keluar dari Makkah dan menaiki perahu. Sampai di tengah laut, ombak raksasa menerpa perahu yang kunaiki, sehingga perahu pun pecah dan semua penumpang tenggelam. Barang-barang muatan juga ikut musnah ditelan ombak raksasa itu.

Allah masih melindungiku. Dari semua penumpang, hanya aku yang selamat dengan berpegangan pada kayu pecahan perahu tersebut. Dengan kayu itu, aku berusaha mencari daratan. Tidak tahu kemana arah yang hendak kutuju. Akhirnya, aku terdampar di sebuah pulau yang berpenghuni. Aku pun mencari sebuah masjid di pulau itu. Setelah ketemu, aku menunaikan sholat dan membaca Al-Qur'an. Tanpa disangka-sangka, setiap orang yang masuk ke masjid pasti mendekatiku untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'anku. Selesai membaca, sebagin dari mereka berkata kepadaku, "Ajari kami membaca Al-Qur'an."

Dengan senang hati, aku pun mengajari semua jamaah di masjid itu cara membaca Al-Qur'an yang baik. Dari kegiatan mengajar itu, aku diberi uang yang sangat banyak oleh mereka. Beberapa waktu kemudian, aku mencoba mengamati tulisan khat pada Al-Qur'an di masjid itu. Tiba-tiba, mereka bertanya kepadaku, "Apakah kamu bisa menulis khat yang baik?" Aku menjawab, "Insya Allah bisa." Mereka berkata, "Kalau begitu, ajarilah kami cara menulis khat yang baik." Bahkan, semua anak kecil dan para pemuda di pulau itu ikut belajar menulis khat, sehingga tabungan uangku semakin banyak.

Pada suatu kesempatan, mereka mendekatiku dan berkata, "Di pulau kami ini ada seorang gadis yatim. Ia berwajah cantik dan memiliki harta yang banyak. Kami ingin engkau menikahi gadis itu." Mendengar tawaran itu, aku menolaknya. Mereka berkata, "Pokoknya engkau harus menikahinya." Mereka terus mendesakku, sehingga aku pun menerima tawaran mereka.

Keesokan harinya, gadis tersebut dirias dan diperlihatkan kepadaku. Dengan perasaan malu, aku mencoba mengangkat pandanganku ke wajahnya. Aku sangat kaget karena kalung yang dulu pernah ketemukan ternyata berjuntai indah di leher gadis itu. Perhatianku pun hanya tertuju pada kalung itu. Tiba-tiba, mereka mengagetkanku, "Wahai guru, hati gadis ini hancur lantaran engkau hanya memperhatikan kalungnya dan tidak memperhatikan wajahnya." Aku pun menceritakan kepada mereka mengenai ihwal kalung itu. Tiba-tiba mereka semua berteriak mengumandangkan tahlil dan takbir hingga seluruh penduduk pulau itu berkumpul.

Didorong rasa heran, aku bertanya kepada mereka, "Ada apa dengan kalian?" Mereka menjawab, "Kakek tua yang mengambil kalung darimu itu adalah ayah gadis ini. Ia pernah berkata, 'Di dunia ini aku belum pernah melihat seorang muslim yang lebih baik daripada laki-laki yang mengembalikan kalung ini kepadaku.' Ia juga berdo'a, 'Ya Allah, pertemukan lagi aku dengan laki-laki itu dan akan kunikahkan ia dengan putriku.' Dan sekarang, apa yang menjadi harapannya telah dikabulkan oleh Allah."

Aku ikut terharu mendengar cerita mereka. Aku pun menikahi gadis itu dengan dianugerahi dua anak. Tidak lama setelah itu, gadis yang sudah menjadi istriku itu meninggal dunia, sehingga kalung permatanya diwariskan kepadaku dan dua anakku. Selang beberapa tahun kemudian kedua anakku juga meninggal dunia, sehingga kalung permata itu diwariskan kepadaku. Aku lalu menjual kalung itu seharga 100.000 dinar. Harta yang kalian lihat sekarang ini merupakan sisa dari uang itu."

Sumber: Buku Golden Stories, karangan: Mahmud Musthafa Sa'ad & Dr Nashir Abu Amir Al-Hamidi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta